Mungkin cerita kali ini akan berbeda dari biasanya karena tidak mengisahkan satu perjalanaku ke suatu destinasi wisata, melainkan pengalaman yang syukur-syukur bisa berguna untuk menambah pengetahuan siapapun yang membaca post ini. Cerita ini terjadi sekitar dua minggu lalu, yaitu hari-hari di kala sibuk mengerjakan Tugas Akhir (TA). Beberapa hari sebelum akhirnya mengumpulkan paper TA, aku tidak bisa tidur, bukan karena stress, tapi karena aku tidak bisa menemukan posisi yang nyaman untuk tidur. Pinggangku rasanya sakit tak tertahankan sehingga saat tidur seringkali terbangun. Bahkan, sakit pinggang ini cukup mengganggu saat menyetir sehingga aku sempat minta diantar suamiku untuk bepergian. Aku pikir sakit pinggang ini karena salah posisi tidur dan akan hilang beberapa hari ke depan.
Akhirnya dengan memilih mengabaikan rasa sakit itu, tibalah akhir minggu, waktu yang langsung kugunakan untuk bepergian bersama keluargaku untuk rekreasi. Kami memutuskan untuk menghabiskan akhir minggu di Bandung. Kebetulan pada hari Sabtu, 14 Februari 2015, suamiku diundang menjadi pembicara di ITB, aku pun menemaninya saat itu. Siangnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan di daerah Lembang dan memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku di Padalarang pada sore harinya. Saat berkumpul bersama, tercetuslah ide untuk pergi ke Pangandaran dan diputuskan kami akan berangkat pukul 00.00 agar bisa sampai tepat pada saat matahari terbit.
Kami memiliki waktu untuk beristirahat malam itu, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak bisa tidur hingga waktunya berangkat. Di perjalanan pun aku sama sekali tidak bisa tertidur karena sakit pinggang yang masih terasa dan kondisi jalan yang tidak rata. Akhirnya kami sampai di Pangandaran saat subuh. Kami memburu matahari terbit, naik perahu, snorkling, bermain di pantai, dan lain-lain hingga siang hari. Setelah itu kami membersihkan diri dan memutuskan untuk pulang pada pukul 10.00.
Setelah masuk mobil, aku mulai merasakan demam dan sedikit menggigil, aku merasa itu hal yang wajar setelah beberapa hari sebelumnya. Di perjalanan, kami mampir di suatu restoran untuk makan siang. Setelah makan kami sedikit beristirahat di rumah makan tersebut, aku merasa demamku semakin menjadi-jadi, dan benar saja, bahkan aku sampai mengigau-ngigau. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan.
Di mobil, aku masih sulit tidur, tapi akhirnya akupun tertidur hingga aku terbangun dan merasa sakit kepala ditambah pilek (aku juga menderita sinusitis) dan meminta untuk ke RS terdekat. Waktu itu kami baru sampai di Garut. Akhirnya kami menemukan sebuah klinik di pinggir jalan dan menemui dokter. Menurut dokter, saat itu tekanan darahku rendah dan sakit perutku dikarenakan maag. Aku pulang setelah diberikan obat dan makan terlebih dahulu.
Karena merasa tidak mungkin melanjutkan perjalanan, suamiku memutuskan kami baru akan kembali ke Cibubur esok harinya. Alhamdulillah aku sudah bisa tidur lelap malam itu. Esok harinya, yaitu di hari Senin, kamipun kembali ke Cibubur. Sesampainya di rumah aku hanya istirahat di tempat tidur sementara suamiku merawatku dan secara teratur memberikan makanan dan obat. Beberapa hari berlalu hingga Rabu pagi, aku merasa tubuhku tidak membaik, aku meminta suamiku untuk membawaku ke Rumah Sakit.
Sesampainya di RS, aku langsung masuk ke IGD, dokter memberikan aku infus dan mengambil darahku untuk di analisa. Hasil analisa menunjukkan bahwa aku terkena thypus dan trombositku juga berada di bawah normal. Akupun dirawat inap di RS di bawah pengawasan dokter spesialis penyakit dalam. Tidak berapa lama, dokter spesialis penyakit dalam datang dan memeriksaku. Aku pun bercerita gejala-gejala yang ada, termasuk sakit pinggang dan sakit di perut kanan bawah yang mulai kurasakan malam sebelumnya. Dokterpun meminta aku untuk di USG sore harinya. Hasil USG ternyata menunjukkan kemungkinan radang pada usus buntu dan aku pun langsung dipertemukan dengan dokter spesialis bedah.
Sang dokter spesialis bedah menjelaskan padaku bahwa dari cerita yang aku paparkan kemungkinan itu memang benar penyakit pada usus buntu, yaitu sakit perut atau ulu hati seperti maag kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Beliau juga melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan meluruskan-membengkokkan kaki kananku. Akhirnya sang dokter memutuskan untuk mengoperasiku keesokan harinya dan aku juga akan diperiksa oleh dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anestesi sebagai bagian tim operasiku.
Menurut sang dokter spesialis bedah, aku bisa memilih metode operasi bedah biasa atau laparoskopi. Mungkin untuk lebih jelas perbedaan keduanya dapat dicari di internet, di sini aku akan menjelaskan sesuai penjelasan sang dokter saja. Operasi bedah biasa itu perut kita akan dibedah cukup lebar kemudian usus buntu kita akan diangkat, dokter tidak banyak menerangkan metode ini karena aku sendiri pun merasa operasi dan pemulihannya tidak akan terlalu berbeda dengan operasi caesar yang pernah aku alami empat tahun yang lalu, bedanya hanya operasi kali ini menggunakan bius total, sedangkan metode laparoskopi dilakukan dengan melubangi perut kita sebanyak 3 lubang (sayatan 0,5-1,5 cm). Dari satu lubang akan dimasukkan kamera dan dua lubang lainnya akan dimasukkan peralatan dokter sehingga tangan dokter tidak masuk ke dalam perut. Perut kita akan dikembungkan dengan gas CO2 sehingga dokter lebih leluasa dengan organ-organ di dalam perut. Dokter menjelaskan laparoskopi pada umumnya memberikan masa pemulihan yang lebih singkat, tapi memang harganya lebih mahal daripada operasi biasa.
Kamipun mengikuti saran dokter saja, yaitu laparoskopi, karena alhamdulillah, biaya kami ditanggung asuransi. Esoknya sebelum operasi, kami berdiskusi dengan dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anestesi. Kami berdiskusi dengan dokter spesialis kandungan untuk melihat keadaan rahim. Apabila terdapat gangguan pada rahim (seperti kista), maka pada laparoskopi ini juga akan sekalian dilakukan penindakan. Selain itu, dokter juga memastikan saya tidak hamil karena penanganan untuk orang hamil juga akan berbeda. Sementara itu, dokter spesialis anestesi menjelaskan bahwa setelah laparoskopi kemungkinan pasien merasakan mual, kembung, dan nyeri di pundak atau punggung karena perut pasien diisi gas CO2, gas CO2 ini akan bereaksi dengan H2O di dalam tubuh sehingga menghasilkan H2CO3 dan gas ini mungkin tidak keluar secara sempurna setelah laparoskopi.
Akhirnya akupun memasuki ruangan operasi dan langsung dibius total. Setelah 2-2,5 jam kemudian, aku membuka mata dan menemukan suamiku di sampingku. Suamiku menunjukkan foto-foto yang diambil selama proses laparoskopi, mulai dari usus buntu yang diambil hingga sel indung telur. Setelah laparoskopi selesai, aku diperbolehkan minum, tapi untuk makan aku harus menunggu buang gas terlebih dahulu. Aku juga tidak boleh turun dari tempat tidur langsung, tapi harus secara perlahan, mulai dari memiringkan badan ke kanan, ke kiri, kemudian belajar duduk, dan baru setelah itu belajar berdiri.
Berbeda dengan caesar yang membuat kaki kita mati rasa, pembiusan laparoskopi berbeda, aku masih bisa menggerakkan kedua kakiku. Selain itu, aku juga tidak di kateter. Rasa sakit saat bergerak juga tidak separah pascaoperasi caesar. Pemulihannya cukup cepat, sore hari aku sudah bisa turun dan berjalan dari tempat tidur meski masih merasakan nyeri di luka sayatan.
Dua hari setelah laparoskopi, aku sudah diperbolehkan pulang dan dijadwalkan kontrol ke dokter seminggu setelah laparoskopi. Alhamdulillah, meskipun dengan pelan, aku sudah bisa berjalan-jalan, duduk, dan tidur dengan merasakan sakit yang minim. Terkadang aku merasakan sakit yang cukup lumayan di punggungku, rasanya seperti membakar punggung. Aku juga harus menarik nafas cukup panjang terlebih dahulu sebelum merubah posisi tubuh. Alhamdulillahnya lagi, aku juga bisa naik turun tangga walau harus perlahan-lahan.
Demikian pengalamanku ini kuceritakan, setelah 24 tahun, akhirnya kurelakan apendiks-ku dengan laparoskopi.
semoga Allah senantiasa memberikan kita kesehatan dan umur yg panjang unt mencari bekal d kehidupan mendatang. (lho? jd kaya ustadzah aja. hehe.) moga cepet sembuh Mrs. Edo,hope 4 d best !
BalasHapusaamiin, terima kasih ;-)
BalasHapusHalo Mba, boleh tanya? Selepas dua minggu apakah luka sudah boleh kena air dan apakah sudah normal untuk jalan kaki, naik tangga dll. Karena saya ada jadwal jalan-jalan ke pantai di luar selepas operasi usus buntu saya dng laparoskopi nanti. Sayang kalo jalan-jalannya di batalin, udah beli tiket :p.. Makasih banyak Mba.
BalasHapusHalo mbak carolina, Waktu itu 2 minggu setelah operasi juga saya pergi ke teluk kiluan, dan tidak ada masalah, di sana saya juga snorkeling, tp setelah operasi saya memang ada jadwal kontrol ke dokter seminggu sekali, dan menurut dokter luka operasinya normal, jd bs beraktivitas seperti biasa 😊
BalasHapusWaaahh ok deh mba saya jd ga ragu untuk operasi :p makasiih banyak Mba
BalasHapusAssalamualaikum wrwb.
BalasHapusSalam kenal mbak..
Mau nanya dong...proses pemulihannya kira2 berapa hari ya sampai bisa aktivitas normal. Soalnya seminggu pasca operasi saya ada kegiatan di sekolah. Kebetulan saya pengajar.
Terima kasih atas jawabannya ya mba
Maaf Mbak, saya baru mengecek email dan baru tau kalau ada pertanyaan :). Waktu itu saya operasi hari Kamis, Jumat saya sudah bisa latihan jalan, dan Sabtu saya keluar RS sudah bisa beraktivitas seperti biasa, bahkan hari Minggu saya datang ke undangan keluarga, alhamdulillah 3-4 hari sudah pulih, cuman masih harus pelan-pelan kalau jalan, mudah-mudahan bermanfaat :)
HapusAssalamualaikum mbak, saya selvi mau tanya2 nih, saya juga disarankan untuk operasi usus buntu. Mbak operasinya di rs mana? Dokter yang recommended untuk operasi ini siapa ya? Lalu kira2 sampai berapa minggu luka sayatan tersebut tidak sakit? Terima kasih mbak
BalasHapus