Minggu, 22 Februari 2015

Kurelakan Apendiks-ku dengan Laparoskopi

Mungkin cerita kali ini akan berbeda dari biasanya karena tidak mengisahkan satu perjalanaku ke suatu destinasi wisata, melainkan pengalaman yang syukur-syukur bisa berguna untuk menambah pengetahuan siapapun yang membaca post ini. Cerita ini terjadi sekitar dua minggu lalu, yaitu hari-hari di kala sibuk mengerjakan Tugas Akhir (TA). Beberapa hari sebelum akhirnya mengumpulkan paper TA, aku tidak bisa tidur, bukan karena stress, tapi karena aku tidak bisa menemukan posisi yang nyaman untuk tidur. Pinggangku rasanya sakit tak tertahankan sehingga saat tidur seringkali terbangun. Bahkan, sakit pinggang ini cukup mengganggu saat menyetir sehingga aku sempat minta diantar suamiku untuk bepergian. Aku pikir sakit pinggang ini karena salah posisi tidur dan akan hilang beberapa hari ke depan.

Akhirnya dengan memilih mengabaikan rasa sakit itu, tibalah akhir minggu, waktu yang langsung kugunakan untuk bepergian bersama keluargaku untuk rekreasi. Kami memutuskan untuk menghabiskan akhir minggu di Bandung. Kebetulan pada hari Sabtu, 14 Februari 2015, suamiku diundang menjadi pembicara di ITB, aku pun menemaninya saat itu. Siangnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan di daerah Lembang dan memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku di Padalarang pada sore harinya. Saat berkumpul bersama, tercetuslah ide untuk pergi ke Pangandaran dan diputuskan kami akan berangkat pukul 00.00 agar bisa sampai tepat pada saat matahari terbit.

Kami memiliki waktu untuk beristirahat malam itu, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak bisa tidur hingga waktunya berangkat. Di perjalanan pun aku sama sekali tidak bisa tertidur karena sakit pinggang yang masih terasa dan kondisi jalan yang tidak rata. Akhirnya kami sampai di Pangandaran saat subuh. Kami memburu matahari terbit, naik perahu, snorkling, bermain di pantai, dan lain-lain hingga siang hari. Setelah itu kami membersihkan diri dan memutuskan untuk pulang pada pukul 10.00.

Setelah masuk mobil, aku mulai merasakan demam dan sedikit menggigil, aku merasa itu hal yang wajar setelah beberapa hari sebelumnya. Di perjalanan, kami mampir di suatu restoran untuk makan siang. Setelah makan kami sedikit beristirahat di rumah makan tersebut, aku merasa demamku semakin menjadi-jadi, dan benar saja, bahkan aku sampai mengigau-ngigau. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan.

Di mobil, aku masih sulit tidur, tapi akhirnya akupun tertidur hingga aku terbangun dan merasa sakit kepala ditambah pilek (aku juga menderita sinusitis) dan meminta untuk ke RS terdekat. Waktu itu kami baru sampai di Garut. Akhirnya kami menemukan sebuah klinik di pinggir jalan dan menemui dokter. Menurut dokter, saat itu tekanan darahku rendah dan sakit perutku dikarenakan maag. Aku pulang setelah diberikan obat dan makan terlebih dahulu.

Karena merasa tidak mungkin melanjutkan perjalanan, suamiku memutuskan kami baru akan kembali ke Cibubur esok harinya. Alhamdulillah aku sudah bisa tidur lelap malam itu. Esok harinya, yaitu di hari Senin, kamipun kembali ke Cibubur. Sesampainya di rumah aku hanya istirahat di tempat tidur sementara suamiku merawatku dan secara teratur memberikan makanan dan obat. Beberapa hari berlalu hingga Rabu pagi, aku merasa tubuhku tidak membaik, aku meminta suamiku untuk membawaku ke Rumah Sakit.

Sesampainya di RS, aku langsung masuk ke IGD, dokter memberikan aku infus dan mengambil darahku untuk di analisa. Hasil analisa menunjukkan bahwa aku terkena thypus dan trombositku juga berada di bawah normal. Akupun dirawat inap di RS di bawah pengawasan dokter spesialis penyakit dalam. Tidak berapa lama, dokter spesialis penyakit dalam datang dan memeriksaku. Aku pun bercerita gejala-gejala yang ada, termasuk sakit pinggang dan sakit di perut kanan bawah yang mulai kurasakan malam sebelumnya. Dokterpun meminta aku untuk di USG sore harinya. Hasil USG ternyata menunjukkan kemungkinan radang pada usus buntu dan aku pun langsung dipertemukan dengan dokter spesialis bedah.

Sang dokter spesialis bedah menjelaskan padaku bahwa dari cerita yang aku paparkan kemungkinan itu memang benar penyakit pada usus buntu, yaitu sakit perut atau ulu hati seperti maag kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Beliau juga melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan meluruskan-membengkokkan kaki kananku. Akhirnya sang dokter memutuskan untuk mengoperasiku keesokan harinya dan aku juga akan diperiksa oleh dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anestesi sebagai bagian tim operasiku.

Menurut sang dokter spesialis bedah, aku bisa memilih metode operasi bedah biasa atau laparoskopi. Mungkin untuk lebih jelas perbedaan keduanya dapat dicari di internet, di sini aku akan menjelaskan sesuai penjelasan sang dokter saja. Operasi bedah biasa itu perut kita akan dibedah cukup lebar kemudian usus buntu kita akan diangkat, dokter tidak banyak menerangkan metode ini karena aku sendiri pun merasa operasi dan pemulihannya tidak akan terlalu berbeda dengan operasi caesar yang pernah aku alami empat tahun yang lalu, bedanya hanya operasi kali ini menggunakan bius total, sedangkan metode laparoskopi dilakukan dengan melubangi perut kita sebanyak 3 lubang (sayatan 0,5-1,5 cm). Dari satu lubang akan dimasukkan kamera dan dua lubang lainnya akan dimasukkan peralatan dokter sehingga tangan dokter tidak masuk ke dalam perut. Perut kita akan dikembungkan dengan gas CO2 sehingga dokter lebih leluasa dengan organ-organ di dalam perut. Dokter menjelaskan laparoskopi pada umumnya memberikan masa pemulihan yang lebih singkat, tapi memang harganya lebih mahal daripada operasi biasa.

Kamipun mengikuti saran dokter saja, yaitu laparoskopi, karena alhamdulillah, biaya kami ditanggung asuransi. Esoknya sebelum operasi, kami berdiskusi dengan dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anestesi. Kami berdiskusi dengan dokter spesialis kandungan untuk melihat keadaan rahim. Apabila terdapat gangguan pada rahim (seperti kista), maka pada laparoskopi ini juga akan sekalian dilakukan penindakan. Selain itu, dokter juga memastikan saya tidak hamil karena penanganan untuk orang hamil juga akan berbeda. Sementara itu, dokter spesialis anestesi menjelaskan bahwa setelah laparoskopi kemungkinan pasien merasakan mual, kembung, dan nyeri di pundak atau punggung karena perut pasien diisi gas CO2, gas CO2 ini akan bereaksi dengan H2O di dalam tubuh sehingga menghasilkan H2CO3 dan gas ini mungkin tidak keluar secara sempurna setelah laparoskopi.

Akhirnya akupun memasuki ruangan operasi dan langsung dibius total. Setelah 2-2,5 jam kemudian, aku membuka mata dan menemukan suamiku di sampingku. Suamiku menunjukkan foto-foto yang diambil selama proses laparoskopi, mulai dari usus buntu yang diambil hingga sel indung telur. Setelah laparoskopi selesai, aku diperbolehkan minum, tapi untuk makan aku harus menunggu buang gas terlebih dahulu. Aku juga tidak boleh turun dari tempat tidur langsung, tapi harus secara perlahan, mulai dari memiringkan badan ke kanan, ke kiri, kemudian belajar duduk, dan baru setelah itu belajar berdiri.

Berbeda dengan caesar yang membuat kaki kita mati rasa, pembiusan laparoskopi berbeda, aku masih bisa menggerakkan kedua kakiku. Selain itu, aku juga tidak di kateter. Rasa sakit saat bergerak juga tidak separah pascaoperasi caesar. Pemulihannya cukup cepat, sore hari aku sudah bisa turun dan berjalan dari tempat tidur meski masih merasakan nyeri di luka sayatan.

Dua hari setelah laparoskopi, aku sudah diperbolehkan pulang dan dijadwalkan kontrol ke dokter seminggu setelah laparoskopi. Alhamdulillah, meskipun dengan pelan, aku sudah bisa berjalan-jalan, duduk, dan tidur dengan merasakan sakit yang minim. Terkadang aku merasakan sakit yang cukup lumayan di punggungku, rasanya seperti membakar punggung. Aku juga harus menarik nafas cukup panjang terlebih dahulu sebelum merubah posisi tubuh. Alhamdulillahnya lagi, aku juga bisa naik turun tangga walau harus perlahan-lahan.

Demikian pengalamanku ini kuceritakan, setelah 24 tahun, akhirnya kurelakan apendiks-ku dengan laparoskopi.

Rabu, 19 Februari 2014

Derawan nan Menawan


Hampir setahun lamanya aku bermimpi untuk pergi ke Derawan, yaitu suatu pulau di Kalimantan Utara yang mulai terkenal setelah muncul di berbagai acara televisi, di media cetak, ataupun dari postingan di facebook teman-teman. Alhamdulillah, di akhir minggu yang panjang, akhirnya aku diberi kesempatan untuk pergi ke Derawan bersama suamiku.

Jumat, 29 Maret 2013

Kali itu adalah penerbangan paling pagi yang pernah aku alami, yaitu penerbangan pukul 05.00 pagi dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta ke Bandara Juwata, Tarakan. Keadaan di Bandara sudah cukup ramai, pada saat akan boarding, memang terlihat rata-rata orang pergi ke Tarakan dengan gaya untuk pergi liburan dan aku menduga mereka juga akan pergi ke Derawan.

Sampai ke Tarakan, hal yang pertama kulakukan adalah menelepon sang tour guide. Sebenarnya hal ini agak cukup mendebarkan karena sebelumnya aku hanya mengandalkan kontak melalui BBM saja dan seluruh biaya perjalanan sudah dibayarkan dan pada saat ditelepon, sang tour guide hanya bilang, "iya Bu, sebentar lagi sampai, tunggu sebentar yaa...". Kami menunggu cukup lama, sampai-sampai kami hanya bisa pasrah jika kali ini memang ditipu. Hampir seluruh orang yang satu pesawat kami sudah dijemput dan telah meninggalkan bandara, sedangkan aku dan suamiku hanya bisa bersabar dan berdoa.

Alhamdulillah, orang yang kami tunggu ternyata datang juga. Tour guide kami adalah Mas Anca. Mas Anca pun segera memperkenalkan dirinya dan membawa kami ke dalam mobilnya. Setelah itu, kami diantar menuju Pelabuhan Tarakan. Di tengah perjalanan, Mas Anca mengatakan alasannya terlambat, yaitu dia dan teman-temannya sesama pemandu wisata kekurangan mobil untuk menjemput para wisatawan karena memang jumlah wisatawan yang datang saat itu cukup banyak. Kupikir memang wajar sih, mengingat dari apa yang kubaca, sebaiknya mengunjungi Derawan minimal dalam waktu 3 hari 2 malam karena perjalanannya cukup jauh dan melelahkan dan kebetulan akhir minggu itu memang cukup panjang karena hari Jumatnya bertepatan dengan libur nasional sehingga akan banyak orang memutuskan untuk berlibur ke Derawan pada waktu itu.

Ternyata sampai di pelabuhan, kami memiliki waktu sekitar 2-3 jam untuk menunggu kapal yang menuju ke Derawan berangkat. Sebetulnya kami mendapatkan jatah makan, tapi kami memilih untuk makan mie instan di warung kecil di pelabuhan. Setelah itu, aku menunggu suamiku yang pergi shalat Jumat.

Di Pelabuhan Tarakan

Sekitar pukul 13.00, seluruh wisatawan sudah mulai dibawa ke dermaga untuk menaiki kapal. Kapal yang kami naiki adalah kapal motor berkapasitas 15 - 20 orang. Kami satu kapal dengan sekelompok mahasiswa yang berlibur bersama, dan beberapa keluarga yang membawa serta anak mereka untuk berlibur.

Lepas dari dermaga, aku melihat beberapa kapal-kapal yang tidak jauh dari pelabuhan. Hal yang tidak aku dan suamiku sangka adalah ketika berjalan cukup lama, kapal mulai melaju dengan kecepatan tinggi, dan dengan keadaan ombak yang cukup besar, jadilah rasanya sedikit seperti dibanting-banting di dalam kapal. Aku hanya bisa berdoa hal itu akan segera berakhir walaupun pada akhirnya perjalanan dengan kapal itu memakan waktu 2 - 2,5 jam.


Kapal besar di area pelabuhan

Setelah akan sampai, Pulau Derawan memang terlihat seperti pulau wisata dengan banyak bungalow di beberapa dermaga yang mengelilingi pulau. Hal yang memang jarang ditemui di Jakarta.

Sampai di pulau, kami langsung memasuki penginapan kami. Kami menginap di rumah warga yang memang biasa menyewakan kamarnya. Tadinya kami ingin menginap di salah satu bungalow yang ada, tapi saat akan booking, ternyata sudah tidak ada lagi bungalow yang tersedia. Akan tetapi, sisi positifnya adalah aku menjadi tahu lebih banyak mengenai Pulau Derawan dari mengobrol dengan pemilik rumah.


Suasana di sekeliling Pulau Derawan
Setelah mandi dan berganti baju, aku dan suamiku langsung keluar memburu sunset di dermaga, Akan tetapi, kami agak sedikit terlambat sehingga tidak banyak foto sunset bagus yang kami dapatkan. Meskipun begitu, kami cukup senang karena pada saat berfoto-foto, tiba-tiba ada penyu yang memunculkan kepalanya. Memang, di Derawan terkenal dengan banyaknya penyu yang bisa dijumpai, bahkan biasanya warga menggunakan daun pisang agar penyu bisa muncul. Selesai memburu sunset, kami berkeliling pulau dan melihat bagaimana lingkungan di sana, mulai dari rumah warga dan tempat berkumpul para warga.

Foto sunset

Tempat berkumpul warga Pulau Derawan
Malamnya, setelah makan malam, aku dan suamiku pergi ke salah satu dermaga di mana ada beberapa orang yang sedang memancing. Aku dan suamiku tidak ikut memancing, tapi kami coba-coba menggunakan kamera kami untuk berfoto di malam hari dengan cahaya bulan purnama yang sangat cerah malam itu. Berbekal fitur kamera yang mudah digunakan dan kemampuan setting kamera yang pas-pasan, akhirnya kami dapatkan beberapa foto yang bagus.

Foto di bawah cahaya bulan purnama

Sabtu, 30 Maret 2013

Aku dan suamiku bangun pagi-pagi sekali dengan niat memburu sunrise. Setelah mandi, kamipun langsung pergi ke demaga. Sayangnya banyak awan pagi itu, sehingga foto yang kami peroleh sedikit gelap. Saat sedang asyik berfoto-foto, tiba-tiba turun hujan yang sangat deras, posisi kami berada di tengah-tengah antara ujung dermaga dan bungalow, kami bingung akan berlari kemana untuk mencari tempat berteduh terdekat. Akhirnya kami berdua berlari menuju ujung dermaga. Beberapa orang yang sedang asik snorkelling di sekitar dermaga pun ikut berteduh bersama kami.

Foto di kala sunrise

Ternyata hujannya tidak turun lama. Hanya dalam hitungan menit, hujan berganti dengan sinar matahari, aku dan suamiku pun melanjutkan sesi foto-foto kami lagi, hehehe.

Kapal yang kami gunakan
Setelah selesai foto-foto dan sarapan, kami sudah siap beserta seluruh rombongan untuk mulai mengunjungi pulau-pulau lainnya. Beberapa saat setelah naik kapal dan lepas dari dermaga, aku melihat pelangi yang cukup jelas. Rasanya seperti di lagu, "after the hurricane, come the rainbow...", setelah sebelumnya kami diguyur hujan deras, kami mendapatkan hadiah berupa pemandangan pelangi. Walaupun aku tidak tahu faktanya dengan pasti, tapi aku rasa pengalaman yang kumuliki adalah pengalaman langka.

Rangkaian perjalanan kami dimulai dengan mengunjungi Pulau Maratua. Di pulau ini, juga terdapat penginapan. Kegiatan kami di pulau ini, hanya berfoto-foto. Pantainya juga indah, tapi kami dan rombongan diajak untuk segera ke Pulau Kakaban sebelum pulau itu terlalu ramai dikunjungi rombongan lain.

Pantai di Pulau Maratua

Tibalah kami di Pulau Kakaban. Pulau yang paling mengesankan dalam perjalanan ini buatku. Begitu tiba, kami turun di tepi pantai dan diminta untuk menunggu beberapa saat. Sambil menunggu, kami mengambil foto bawah air bersama karang-karang yang memang ada di dekat pantai.

Setelah beberapa saat, kami dipanggil dan mulai menelusuri jalan setapak yang terbuat dari kayu. Jalannya cukup berbahaya karena licin karena banyak orang yang datang dan pergi. Setelah berjalan cukup jauh, tibalah kami di sebuah danau, yaitu Danau Kakaban.

Jadi, bentuk Pulau Kakaban memang seperti donat. Di tengah-tengah pulau terdapat danau yang cukup besar dan airnya payau. Menurut penjelasan pemandu wisata, terdapat celah yang menghubungkan Danau Kakaban dengan lautan di sekitar pulau. Akan tetapi, hal yang paling menarik dari danau besar ini adalah kita bisa berenang bersama ubur-ubur tanpa khawatir disengat sedikit pun!

Aku dan suamiku pun langsung berenang di danau dan mencari ubur-ubur yang dimaksud dan benar saja, tidak lama kami turun, banyak ubur-ubur yang tidak sengaja tersentuh saat berenang. Hal itu sungguh mengasyikan, ubur-ubur yang ada dapat kami pegang, rasanya kenyal seperti jeli. Ubur-ubur yang ada di situ terdapat dua jenis, yaitu yang berwarna coklat dan yang transparan. Konon, tempat seperti Danau Kakaban ini hanya ada dua di dunia, yaitu di Pulau Kakaban, dan satu lagi ada di Philipina. Kami berenang cukup lama, tapi kami pun harus menyudahinya karena kami harus pergi ke pulau yang lain.

Saat akan pergi dari Pulau Kakaban, kami kesulitan untuk naik kapal karena air surut dan kapal tidak bisa mendekat karena banyaknya karang. Para wisatawan pun harus berjalan agak jauh dari pantai untuk menaiki kapal. Hal ini tidak mudah karena kami berjalan di atas karang yang tidak rata, banyak orang yang jatuh dan akhirnya terluka. Aku pun sedikit terluka, tapi aku coba untuk tidak terlalu merasakannya karena liburan ini masih belum usai.

Setelah seluruh rombongan berhasil naik, kapal kami siap berangkat, tapi ternyata jangkar kapal kami tersangkut karang. Salah satu pemandu wisata kami pun turun dengan menggunakan peralatan selamnya untuk mengambil jangkarnya. Cukup lama kami menunggu, akhirnya orang yang menyelam tadi pun muncul ke permukaan dan mengatakan bahwa jangkarnya tersangkut di kedalaman sekitar 30 m dan dia membutuhkan lebih banyak pemberat lagi untuk bisa menyelam lebih dalam. Seluruh rombongan pun kaget karena kami tidak jauh dari tempat kami menaiki kapal dimana air hanya setinggi betis orang dewasa dan saat ini kami berada 30 m dari dasar laut. Memang bukan kesan biasa dan bukan kesan yang kami duga dari perjalanan ini. Alhamdulillah, tidak lama kemudian, jangkar kapal kami berhasil diambil dan kami pun melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya.

Berikutnya kami menuju Pulau Sangalaki, tapi sama sepeti di Pulau Kakaban, air surut dan kami kesulitan untuk menepi di pantai. Akhirnya kami memutuskan untuk snorkelling di sekitar pulau tersebut. Karang yang ada di bawah kami sungguh indah.

Foto di bawah air di sekitaran Pulau Sangalaki

Setelah puas bermain-main, kami menuju tujuan terakhir kami, yaitu Gusung Putih. Gusung Putih merupakan pulau yang hanya terdiri dari pasir putih. Tidak ada benda lain selain pasir putih. Rasanya seperti pulau di khayalan saja. Tempat yang sangat bagus untuk berfoto.

Gusung Putih

Setelah seharian bermain, kami pun kembali ke pulau Derawan untuk makan malam dan beristirahat.

Minggu, 31 Maret 2013

Setelah sarapan, kami pun bersiap untuk naik kapal kembali ke Tarakan. Ya, kami siap untuk "dibanting-banting" di dalam kapal selama 2 - 2,5 jam. Pada saat perjalanan pulang, fenomena yang kami temukan adalah cukup banyak hujan turun di beberapa titik terpisah di laut. Hal ini cukup menarik karena beberapa saat kami melewati daerah yang sedang hujan, kemudian daerah yang tidak hujan, kemudian daerah yang hujan lagi. Agak cukup merepotkan karena kami harus membuka dan menggulung terpal penutup kapal kami.

Akhirnya kami pun sampai di Pelabuhan Tarakan. Kami sampai sekitar pukul 13.00 dan masih memiliki waktu 3 - 4 jam sebelum penerbangan kami untuk kembali ke Jakarta. Kami dibawa oleh Mas Anca untuk mengelilingi Kota Tarakan. Pertama-tama kami mengunjungi tempat refleksi, mengingat badan kami yang pegal-pegal setelah "dibanting-banting" di dalam kapal. Kemudian kami menuju salah satu restoran sea food, lalu mengunjungi mall yang ada di Tarakan. Sebenarnya, keramaian Kota Tarakan cukup mencengangkan aku dan suamiku, tadinya kami pikir Tarakan adalah kota kecil yang sepi, ternyata kota ini ramai sekali.

Akhirnya kami di antar ke bandara dan siap untuk kembali ke Jakarta.

Banyak hal yang di luar ekspektasiku selama perjalanan ini, tapi pengalaman itulah yang tidak dapat digantikan dengan apapun juga. Mulai dari naik kapal yang kurang nyaman, berenang dengan ubur-ubur, dan foto-foto di Gusung putih. It is gonna be legen........... wait for it....... darry!!!!

Senin, 28 Januari 2013

Truly In Love with Bali

Hari Kesatu
1 Januari 2013, Pukul 05.30 WIB, aku sudah meluncur menuju Bandara Soekarno-Hatta dengan Caravelle hitam. Jalanan sepi, hal yang cukup langka untuk kota sehebat Jakarta, tapi sangat wajar mengingat semalam pasti sebagian besar warga Jakarta hanyut dalam pesta pergantian tahun.

22 tahun tinggal di Indonesia, tapi inilah pertama kalinya aku mengunjungi primadona tempat wisata di Indonesia. Namun, tidak ada alasan untuk mengurangi rasa syukurku atas kunjungan ini. Diwarnai dengan keberangkatan pesawat yang delay selama hampir 90 menit dan disambut hujan saat mendarat, sampailah aku, suamiku, Arini, Uni Wiwit, Bang Aldo, dan Dika di Bandara I Gusti Ngurah Rai dan segera menghampiri Pak Ketut yang akan mengantar kami kemanapun selama empat hari ke depan di Bali.

Keluar dari bandara, kami langsung disambut macet. Agak sedikit mengecewakan, tapi memang begitulah kenyataannya, banyak orang ingin menikmati keindahan Bali di liburan pergantian tahun ini. Berhubung sudah waktunya makan siang, kami mampir terlebih dahulu di salah satu restoran seafood di Jimbaran, hal yang memang wajib dilakukan di Bali. Setelah makan siang, dengan perjalanan yang sedikit terhambat, kami meluncur ke tujuan pertama kami, yaitu kawasan Uluwatu.

Pak Ketut mengajak kami ke Garuda Wisnu Kencana (GWK), di tempat ini terdapat patung besar yang belum selesai dirangkai. Menurut cerita Pak Ketut, pembuat patung itu telah wafat sebelum menyelesaikannya. Patungnya cukup besar dan terbagi tiga bagian, patung tangan Dewa Wisnu di bagian bawah bukit, patung badan bagian atas Dewa Wisnu dan patung Burung Garuda di bagian atas bukit. Tempat ini cukup indah, hal yang mencengangkan adalah bukit dibelah dengan rapi untuk membentuk jalan dan area wisata.




Patung GWK yang terpisah-pisah


Bukit yang dibelah rapi
  
Setelah dari GWK, kami menuju Pura Uluwatu. Untuk masuk ke pura ini seluruh pengunjung diharuskan memakai selendang untuk diikatkan di badan. Yang menarik dari pura ini adalah letaknya yang berada di tepi tebing yang terjal. Cukup menegangkan untuk melihat pemandangan di bawah tebing dimana terdapat karang yang dihantam ombak yang ganas. Di pura ini terdapat banyak monyet dan terdapat peringatan untuk berhati-hati karena monyet tersebut bisa tiba-tiba mengambil HP, kamera, dan lain-lain dari kita. Sebenarnya di Pura ini dipertunjukkan tarian kecak setiap pukul 19.00 WITA, tapi mengingat kami sudah seharian berjalan dan membawa balita, kami memutuskan untuk langsung menuju hotel pada pukul 18.00 WITA.


Pura Uluwatu di atas tebing

Monyet di Pura Uluwatu

Hari Kedua
Hari kedua kami di Bali kami awali dengan kunjungan ke Tanjung Benoa untuk menikmati water sport. Sungguh hal yang sangat seru, kami pergi menuju Pulau Penyu melihat berbagai hewan yang ada di sana. Ada penyu dengan berbagai usia, mulai dari yang masih bayi sampai dengan penyu yang memiliki rumah berdiameter sekitar 1 meter. Selain penyu, kita dapat melihat iguana, kelelawar, burung rangkoon, burung elang, dan ular di sini. Bahkan, bukan hanya melihat, tapi juga memegang dan berfoto dengan hewan-hewan tersebut.


Penyu berukuran besar

Setelah mengajak para balita ke Pulau Penyu, aku, suamiku, dan Bang Aldo memulai petualangan kami, yaitu diving dan flying fish. Sungguh pengalaman yang luar biasa, mengingat ini memang pertama kalinya bagiku. Diving yang mungkin tidak terlalu sulit, hanya kedalaman 2-3 meter saja, tapi di kedalaman itu kita sudah dapat melihat keindahan karang dan berbagai macam ikan di sana, bahkan kami menemukan ikan Nemo. Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan dengan parasailing, tapi karena hari sudah siang dan cuaca agak mendung, parasailing tidak dapat dilakukan.


Diving

Ikan Nemo yang kami lihat saat diving

Selepas dari Tanjung Benoa, kami berniat menuju Tanah Lot, tapi sudah dua jam perjalanan, kami baru sampai di sekitar Bandara I Gusti Ngurah Rai, akhirnya kami mengurungkan niat kami dan mengganti tujuan, yaitu Pantai Kuta dan sekitarnya. Setelah mengambil foto di Pantai Kuta, kami melewati Ground Zero yang merupakan monumen untuk mengenang para korban Bom Bali 1. Sayang sekali hujan deras turun sehingga kami tidak bisa turun dari mobil. Kami pun mengakhiri perjalanan hari ini dan kembali menuju hotel.


Di Panrai Kuta


Hari Ketiga
Setelah sarapan di hotel, kami berangkat menuju daerah Gianyar. Sebelumnya kami menyempatkan diri ke Pantai Sanur untuk mengambil foto. Bali Bird Park menjadi tujuan kami berikutnya. Tempat ini sangat menarik, burung berbagai jenis dari berbagai daerah di dunia ada di sini. Ada burung yang di dalam kandang, dan ada burung yang dilepaskan begitu saja. Tempatnya sangat rimbun sehingga berjalan di dalamnya seperti berjalan di dalam hutan. Kita juga bisa berpose dan berfoto dengan beberapa jenis burung dengan warna yang menarik. Hal yang tidak biasa kita temui sehari-hari, bukan?


Pantai Sanur

Pose bersama burung dari Amerika Latin

Burung yang dibebaskan berjalan

Besama burung nuri

Setelah dari Bali Bird Park, kami menuju Bali Zoo untuk memperkenalkan berbagai jenis hewan kepada Arini dan Dika. Sebenarnya Bali Zoo hampir sama dengan kebun binatang di kota lainnya, tapi di sini kita juga dapat melihat pertunjukkan berbagai jenis burung yang terbang mengikuti instruksi pelatihnya. 


Di pintu masuk Bali Zoo


Makan siang di tepi sawah di Ubud menjadi pilihan kami kali ini. Kesejukan, kedamaian, dan dekat dengan alam menjadi sensasi tersendiri yang diperoleh dari Ubud. Restoran tempat kami makan menyewakan alat pancing sehingga kami dapat memancing ikan dan dapat membawa pulang atau meminta ikan yang kami dapat untuk dimasak. Kami pun mencoba peruntungan kami, hampir saja kami mendapatkan ikan lele paling besar di kolam yang ada, tapi sayang, karena ikan yang besar dan tidak ada jaring yang dapat kami gunakan, tali pancing kami putus dan ikan itupun lepas.


Naturalnya Ubud

Berhubung waktu belum terlalu sore, kami memutuskan untuk pergi ke Tanah Lot. Kedatangan kami disambut rintik hujan, tapi tidak mengurangi keindahan Tanah Lot. Sungguh tak terbayang keindahannya di hari yang cerah dan ombak yang lebih tenang. Aku sungguh jatuh cinta pada tempat ini.


Tanah Lot saat hujan

Hari Keempat
Hari terakhir di Bali, kami kembali ke Tanjung Benoa sambil berharap bisa parasailing, tapi tampaknya Allah belum berkehendak. Mungkin kami harus kembali lagi ke Bali lain waktu untuk parasailing, mudah-mudahan saja. Dari Tanjung Benoa kami bertolak ke Pantai Dreamland, dan di sini pun aku langsung jatuh cinta dengan pantainya. Kini aku mengerti kenapa orang-orang menjadikan Bali sebagai tempat favorit untuk berwisata. Orang yang pernah ke Bali pasti mengetahuinya, dan jika Anda belum ke Bali, percayalah, segera rencanakan perjalanan Anda. Bahkan saya pun ingin kembali lagi dan menjelajahi Bali lebih jauh. 






Indahnya Dreamland

Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk membeli oleh-oleh dan segera menuju bandara sekitar tiga jam sebelum penerbangan. Kami khawatir bila tidak datang lebih awal ke bandara, kami akan terjebak macet dan ketinggalan pesawat. Rupanya bukan hanya kami yang berpikiran demikian, banyak orang yang juga seperti kami, akibatnya bandara jadi sangat ramai. Bali sungguh tempat luar biasa, apalagi bila proyek pembangunan jalan tol di Bali sudah rampung dan tidak ada lagi kemacetan di Bali. Aku ingin kembali ke Bali lagi, sungguh ingin kembali lagi!




Minggu, 04 November 2012

Wonderful Yellow Honeymoon in Belitung


Sabtu, 25 Agustus 2012

Tepat enam hari setelah hari raya idul fitri, tersisa dua hari liburan sebelum memulai kembali rutinitas untuk bekerja. Meskipun masih merasa lelah setelah perjalanan empat hari di Singapura dan dua hari di Puncak, sekitar pukul 06.00 pagi, aku dan suamiku sudah bersiap dengan bawaan satu koper untuk menuju Bandara Soekarno-Hatta dengan taksi. Ya, kami siap memulai kembali perjalanan hanya untuk kami berdua saja.

Tujuan kami kali ini adalah Belitung. Alasannya sangat sederhana, bisa dicari dengan mengetikkan kata belitung di halaman Google, apalagi bila melihat foto-fotonya, rasanya tak sabar lagi untuk segera menikmati keindahan alam itu dengan mata kepala sendiri.

Dari Bandara Soekarno-Hatta kami berangkat dengan pesawat pukul 08.30 WIB, sekitar satu jam kemudian kami sudah mendarat di Bandara Has Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Ada peristiwa yang cukup menegangkan setelah turun pesawat. Aku panik ketika tidak menemukan telepon genggamku (HP) di dalam tasku dan seketika aku ingat telah mengeluarkannya dari tas selama penerbangan. Sepertinya memang HPku tertinggal di pesawat. Ternyata kepanikanku terbaca oleh petugas bandara, dia pun dengan sangat ramah menanyakan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menghubungi awak pesawat untuk memastikan apakah HPku memang tertinggal di pesawat. Alangkah leganya aku ketika mendengar suara dari Handy Talkie petugas tersebut 
"Oh..iya ada, iphone warna putih..." 
"Oke, segera saya ambil..." balas petugas itu.

Hampir saja liburanku harus rusak karena kehilangan HP, tapi alhamdulillah, HP itu masih rizki-ku. Petugas bandara tadi kembali dengan HP ku, sambil mengembalikannya dia berkata,
"Ini Bu, HPnya, lain kali hati-hati ya...."
"Iya Pak, terima kasih sekali ya Pak..." balasku dengan penuh rasa syukur.

Keluar dari Bandara, aku melihat kertas bertuliskan namaku dari travel agent yang memang sudah kupesan. Tour Guide kami bernama Mas Vicky. Setelah mengenalkan diri, dia segera mengantar kami ke dalam mobil untuk memulai perjalanan. Tujuan pertama kami adalah Tanjung Kelayang.

Belitung kota yang tidak terlalu ramai kendaraan. Dari Bandara menuju Tanjung Kelayang tidak ada lampu merah sama sekali. Menurut informasi Mas Vicky, di Belitung ini hanya ada lima lampu merah saja. Terbayang olehku, betapa kota ini tidak akrab dengan kata kemacetan.

Di sepanjang jalan, banyak terdapat perkebunan sawit, selain itu juga ada lahan-lahan pertambangan. Belitung beserta pulau saudaranya, yaitu Bangka, memang terkenal sebagai daerah penghasil Timah.

Tanjung Kelayang
Sampai di Tanjung Kelayang, terlihat pantai yang panjang dan bersih, air laut pun sangat jernih, keinginan untuk bermain air pun spontan muncul.  Tanjung Kelayang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal kecil yang biasa membawa wisatawan untuk island hopping seperti yang akan kami lakukan. Kami segera bergegas menaiki kapal agar dapat segera bermain di pulau-pulau yang akan kami kunjungi. Karena paket tour yang kami ambil adalah paket Honeymoon, kapal ini hanya berisi aku dan suamiku di bagian depan kapal menikmati perjalanan, dan Mas Vicky serta seorang nelayan yang mengemudikan kapal di bagian belakang.

Kapal-kapal di Tanjung Kelayang

Pulau Batu Berlayar
Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Batu Berlayar. Pulau ini memang berukuran kecil yang hanya terdapat batu yang besar dan pasir saja sehingga dari kapal yang sedang melaju terlihat seperti terdapat batu yang berlayar di tengah laut. Salah satu perbedaan yang membuat pantai-pantai di Belitung unik adalah bebatuan besar yang bertebaran. Di pulau ini kami langsung berfoto-foto bersama bintang laut hidup yang kami temukan di sana.

Bintang laut hidup!

Batu berukuran besar yang terlihat seperti layar dari kejauhan

Pulau Burung
Lepas dari Batu Berlayar, kami menuju Pulau Burung. Nama pulau ini berdasarkan bentuk batu yang terlihat seperti burung yang terdapat di pulau tersebut. Setelah asyik berfoto dan bermain air, tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang, Mas Vicky menggelar alas untuk tempat kami makan siang di bawah pohon yang rindang dan memberikan kami masing-masing satu kotak berisi makanan dengan menu lengkap.

Rasanya sempurna berada di pulau indah, sepi, diberi kesempatan untuk kencan dengan piknik makan siang berdua di pinggir pantai. Suasana yang benar-benar mendukung untuk membicarakan hal-hal manis yang mungkin sudah secara umum jarang dilakukan pasangan yang sudah menikah beberapa tahun dan/atau sudah mempunyai anak. 
Pulau Burung nan Indah

Pulau Lengkuas
Lepas dari Pulau Burung, kami menuju Pulau Lengkuas. Di pulau ini terdapat sebuah mecusuar bernama  Enthoven. Pulau ini tak kalah indahnya dengan pulau-pulau lain, tapi lebih ramai. Pulau ini sedikit lebih luas dan hampir seluruh bagian pulau, bebatuan di sekeliling pulau, dan pantai terisi oleh turis lokal dan asing. Kapal-kapal berlabuh dengan rapi di bibir pantai.


Mercusuar Enthoven
Mercusuar Enthoven terdiri dari 18 lantai. Untuk naik ke puncak mercusuar, pengunjung diharuskan membuka alas kaki dan merasakan lembabnya lantai di dalam mercusuar tersebut. Menaiki tangga 18 lantai membuat nafas terengah-engah dan kaki seperti jenuh dengan asam laktat, tapi setelah sampai di puncak, pemandangan yang dilihat sangat sepadan dengan itu semua. Melihat perairan yang jernih di bagian Barat Laut pulau Belitung dengan bebatuan  besar yang bertebaran dan merasakan angin yang lembut menyapa di telinga, membuatku menghirup nafas sedalam-dalamnya, menghembuskannya perlahan-lahan, dan memanjatkan syukur kepada-Nya.

Susunan kapal yang berlabuh dilihat dari puncak mercusuar
Turun dari mercusuar, Mas Vicky sudah menyiapkan dua buah kelapa untuk kami berdua. Kami pun menikmatinya sambil beristirahat. Tanpa sengaja aku mendengar seorang wanita bertanya kepada Mas Vicky,
“Dimana beli kelapa? Boleh saya pesan satu?”
“Maaf Bu, kelapanya kami bawa di pulau lain, khusus untuk tamu kami, di pulau ini tidak ada yang jual kelapa” Jawab Mas Vicky ramah.

Kelapa muda :)
Aku dan suamiku hanya bisa saling menatap dan merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dari travel agent yang telah kami pilih.
Setelah selesai menikmati kelapa tersebut, kami bersiap untuk snorkeling di sekitar Pulau Lengkuas.

Siap dengan peralatan snorkeling, kami langsung masuk ke dalam air dan memulai snorkeling. Ternyata keindahan Belitung tidak hanya ada di atas permukaan laut, tapi juga di bawahnya. Banyak ikan dan karang yang indah. Hal yang menarik adalah ketika kita memegang potongan makanan di tangan, ikan-ikan akan berdatangan dan menggerogotinya. Ternyata ikan dapat memakan apapun, mulai dari ayam goreng, tahu, dan pisang. Terkadang ikan salah menggigit tangan kita, tapi hanya akan  terasa geli.

Snorkeling di sekitar Pulau Lengkuas

Pulau Babi
Sebelum menuju hotel, kami berkungjung kedua pulau yang tak kalah indahnya dengan pulau lainnya. Pulau Babi Besar dan Pulau Babi Kecil. Di kedua pulau ini terdapat bebatuan besar yang cocok untuk dijadikan latar foto. Sungguh tempat yang indah untuk menikmati sore hari yang cerah.



Candle Light Dinner
Pukul 07.00 malam, setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak di hotel, kami dijemput Mas Vicky untuk makan malam di Hotel Bahamas. Tiba di hotel tersebut, kami menyadari tidak ada tamu lain selain kami berdua di restoran hotel. Seluruh tamu hotel sedang menikmati santap malam di luar hotel. Eksklusifitas, kami mendapatkannya lagi malam itu. Hal lain yang membuat kami terkejut adalah lokasi makan malam kami, tepat di pinggir pantai dengan angin ramah beratapkan langit dipenuhi bintang dan ditambah dengan cahaya sebatang lilin. Benar-benar tempat yang romantis.
Menu makan malam yang lengkap dan lezat mengiringi obrolan kami yang ringan namun benar-benar dari hati ke hati. Perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Menyantap Appetizer

Tanjung Pendam
Di Belitung ini, kami bermalam di Hotel Grand Hatika yang berada di area wisata Tanjung Pendam. Informasi dari Mas Vicky, kawasan ini merupakan tempat berkumpulnya pemuda-pemudi Belitung bermalam minggu. Di area ini banyak terdapat warung dan kafe yang juga menampilkan hiburan life music, ada yang menampilkan musik pop, ada juga yang menampilkan musik dangdut. Pada malam hari, air laut surut agak jauh dari garis pantai. Sebelum kembali ke hotel, kami duduk di pinggir pantai sekedar mengobrol dan merasa bahagia atas perjalanan ke Belitung ini.

Minggu, 26 Agustus 2012

Setelah check-out dan sarapan pagi dari hotel, kami mampir ke sebuah toko untuk membeli oleh-oleh khas Belitung yang akan kami bawa ke Jakarta. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami melihat ikon kota Belitung, yaitu patung batu satam di tengah kota. Mas Vicky menceritakan asal mula nama Belitung berasal dari kata Billitonite (Bahasa Belanda) yang berarti batu satam (batu meteor hitam). Batu satam ini menjadi salah satu souvenir dari Belitung dan beberapa orang percaya bahwa batu ini memiliki kekuatan supranatural.

Tanjung Tinggi
Kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Tanjung Tinggi. Pantai ini terkenal setelah menjadi lokasi pembuatan film Laskar Pelangi. Sama seperti Pulau Lengkuas, pantai ini juga cukup ramai dikunjungi orang. Kejernihan airnya membuatku yang semula hanya berniat foto-foto akhirnya memutuskan untuk berenang juga. Selain itu, kami juga bermain perahu Kayak untuk pergi lebih menjauh dari pantai. Selain Kayak, di pantai ini juga menyewakan pelampung, perahu karet, dan lain-lain.

Lokasi syuting Laskar Pelangi 
Langit biru yang cerah
Kayaking

Puas bermain, kami menuju sebuah rumah makan untuk menyantap makan siang. Bagian belakang rumah makan ini masih merupakan Pantai Tanjung Tinggi yang lebih sepi dibandingkan tempat sebelumnya. Aku dan suamiku pun menunda makan siang dan kembali menikmati serunya berenang di pantai dan diterjang ombak. Rasanya tak ingin mengakhiri dua hari yang benar-benar indah ini. Akan tetapi, pesawat pulang tentunya tidak akan menunggu orang yang terlambat. Jadi tidak lama kemudian kami memutuskan untuk membersihkan diri, menyantap makan siang, dan menuju ke bandara untuk kembali ke Jakarta. 


Pantai Tanjung Tinggi

Jakarta
Sampai di Jakarta, kami dijemput Om Asep dari Bandara. Sebelum pulang ke rumah, kami memutuskan untuk menutup liburan indah ini dengan sempurna, yaitu menikmati sushi yang enak di Sushi Tei.

Puas, luar biasa, dan tak terlupakan liburan kami di Belitung walau hanya dua hari. Benar-benar kawasan wisata yang sangat saya rekomendasikan untuk menghilangkan kepenatan dan kebosanan. Selain bersama keluarga dan teman-teman, Belitung juga benar-benar bisa menjadi tempat yang sangat romantis bersama pasangan Anda. Jadi, jika pergi ke Belitung nanti, jangan lupa share ya, agar semakin banyak orang yang tidak melewatkan keindahan tempat ini. :)